Minggu, 31 Oktober 2010


PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU SERI 4


TAK KENAL MAKA TAK SAYANG

RIWAYAT HIDUP DAN PERJUANGAN
" MOAN TEKA IKU "

Dapatkah seseorang tanpa diragukan disebut sebagai tokoh pejuang, tokoh pahlawan atau tokoh sejarah? Sejarah tidak mengulang-ulang dirinya, kecuali dalam pikiran-pikiran mereka yang tidak mengetahui sejarah.1 Salah satu kenikmatan utama dalam mempelajari sejarah adalah menemukan betapa gagasan-gagasan orang terdahulu, atau lebih tepatnya kerangka pikiran mereka, muncul kembali dalam perjalanan sejarah.2
Bagaimana anda mengukur kebesaran seorang tokoh? Berdasarkan kecerdasan militernya? kekuatan fisiknya? keberanian mentalnya? Sejarawan berkata bahwa kebesaran seorang tokoh dapat diukur berdasarkan ‘apa yang ia tinggalkan untuk bertumbuh, dan apakah ia menggerakkan orang-orang lain untuk mulai memikirkan gagasan-gagasan segar dengan kekuatan yang terus bertahan sepeninggal dia.’3 Jawabannya ada pada sejarah itu sendiri.




Gambar 1



Gagasan Mo’an Teka Iku4
Tulisan yang terpatri pada gambar 1 terdapat di monumen Moan Teka Iku, tepatnya di bawah patung Teka Iku yang berkuda, berlokasi di Maumere-Flores, NTT Tulisan yang berarti “aku Teka Iku, besi pahit, besi retak baja asli, pohon jarak menghijau sepanjang masa,hijau sepanjang musim hujan sampai musim panas, segar menghijau tidak takut panas terik.” Sebuah gagasan perjuangan yang berbicara mengenai watak pejuang Moan Teka Iku yang berani, jujur, penuh inspiratif, berdaya pikat dan berdaya juang sepanjang masa, tidak lain adalah seorang pejuang sejati berasal dari rakyat, bersama rakyat dan untuk rakyat.

Gambaran Umum
Gambaran umum singkat, struktur pemerintahan kolonialis Belanda di onderafdeling Maumere/Flores yang meliputi tiga kerajaan setempat masing-masing; Kangae, Nita dan Sika setelah diserahkan oleh pemerintah Portugis pada tahun 1859, berdasarkan perjanjian di Dili Timor (sekarang Timor Leste), Desember 1851. Namun, fakta bendera Belanda baru berkibar di ibu kota Maumere, Agustus 1879 dan di Sikka bekas kerajaan jajahan Portugis. Kerajaan Kangae dan kerajaan Nita, tetap merdeka dan otonomi selama Portugis karena selama masa Portugis, mereka lebih banyak mengurusi masalah ekonomi perdagangan dan penyebaran agama Katolik.
Bekas kerajaan Sikka Maumere, telah tunduk terhadap Portugis sejak tahun 1607 di mana para raja Sikka tunduk dan takluk terhadap penguasa Portugis. Raja Kangae dan raja Nita yang bergelar “Ratu Nian Tawa Tana” yang disapa Mo’an Ratu, adalah raja pilihan oleh para kepala adat tanah/tuan tanah (tanapu’an) dan para kepala suku sebagai wakil rakyat (watu pitu) sebagai bentuk demokrasi tua di wilayah ini, utama daerah pedesaan. Raja adat menganut tradisi demokrasi tua berdasarkan filosofi adat pada gambar 2, yang artinya ada dalam catatan kaki.




Gambar 2

Filosofi adat Maumere5

Setelah terjadi pemindahan kekuasaan Portugis ke dalam tangan kolonialis Belanda, pelan-pelan Maumere merupakan suatu wilayah jajahan oleh penguasaan militer Belanda (1879), belum ada pemerintahan sipil, dengan tujuan mempertahankan daerah jajahan dan jalur perdagangan. Titik-titik kekuasaan kolonialis Belanda adalah Kupang di pulau Timor, Larantuka dan Maumere di pulau Flores.
Struktur kekuasaan pemerintahan kolonialis Belanda sebagai berikut: residen Kupang merupakan pusat kekuasaan desentralisasi di keresidenan Timor. Pusat kekuasaan dimaksud, kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berada di satu tangan militer yaitu residen Kupang dan dibantu oleh kontrolir Timor, yang juga berkedudukan di Kupang Desentralisasi dimaksud seluruh keputusan yang diambil residen sebagai kepala pemerintahan, langsung bertanggung jawab kepada Ratu Belanda (Wihelmina) melalui Governoor Generaal (GG) Batavia.

Keresidenan Timor meliputi pulau Bali disebelah barat sampai dengan Nederlands Timor di sebelah Timur, atau yang dahulu dikenal sebagai : Kleine Sunda Eilanden (Kepulauan Sunda Kecil), sekarang provinsi Bali, NTB dan NTT. Gezaghebber (pemegang kuasa) sebagai pembantu residen dan bertugas mengkoordinasi satu wilayah pulau/kepulauan; dan untuk Flores dan kepulauannya dikenal gezaghebber Larantuka, berkedudukan di Larantuka. Pasukan perintis Belanda (marchause) berkedudukan di Larantuka dan sering berjalan kaki ke Maumere terus ke barat Ende dan Ngada. Sering pasukan itu bentrok dengan laskar-laskar rakyat setempat.
Posthouder (pemegang/pengawas pos), adalah perwakilan pemerintah kolonialis Belanda di suatu wilayah. Wilayah Maumere meliputi tiga kerajaan: Kangae, Nita, dan Sikka merupakan pos Kompeni dan ditempatkan seorang posthouder yang dibantu oleh seorang komandanti di Maumere (kota). Wilayah Maumere pada masa perjuangan Moan Teka Iku yang mencapai klimaks perjuangan yang dikenal dengan “Nuhu Gete Teka Iku”, atau perang besar Teka Iku, pada tahun 1904, residen Kupang dijabat oleh: F.A. Heckler, kontrolir Timor dijabat RLA Hellwig, gezaghebber Larantuka J. Misero dan posthouder Maumere B.L Kailola. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Roosseboom.

Visi Perjuangan
Visi dan misi perjuangan tidaklah jatuh dari langit, tetapi ditanam oleh kedua orang tuanya (Mitan-Kotin) sejak masa kanak-kanak. Keluarga yang tak pernah kenal bangku pendidikan ini, namun karena alam dan ilham mempunyai filosofi hidup yang menyentuh batas kedalaman tanah dan cita-cita sampai menyentuh bulan yang lebih banyak aksi ketimbang reaksi melakukan upacara adat pada tahun 1851 yang disebut lebo kuat.6
Pemberian nama (adopsi) yang memberi arti perjuangan masa depan juga menimbulkan perbantahan sampai pada seminar tahun 2004 Teka Iku atau Teka karena terdapat dua pribadi? Itulah keunikan sekaligus keunggulan dari meterai lebo kuat. Teori berkata bahwa budaya melahirkan pemimpin dan sebaliknya pemimpin melahirkan budaya. Teori menulis berdasar fakta yang telah dipraktekkan. Moan Mitan Baber, ayah kandung Iku (ama buan) pemimpin rakyat melahirkan budaya lebo kuat, melalui budaya lebo kuat melahirkan pemimpin perjuangan Teka Iku. Hal ini, menjadi jelas dan terang benderang bahwa warisan budaya, sejarah Teka Iku berbeda dengan warisan biologis atau hubungan darah yang mengenal dua pribadi.
Kebenaran sejarah ini, sesuai dengan kesaksian ahli waris, Eliseus Moa Iku pada seminar sehari kepahlawanan Moan Teka Iku di Setda Maumere, 16 Juni 2004, dalam menjawab soal nama pemimpin perjuangan, ia mengatakan bahwa, pemimpin entah pemimpin perang tentulah seorang, bukan dua orang yaitu seorang diberi atau diserahkan untuk menyandang nama besar Teka Iku. Jawaban yang pas dengan makna lebo kuat, yang dibuat oleh koka nya sendiri (ayah kakek) Moan Mitan Pautanapuan.
Visi yang diwariskan oleh kedua orang tuanya (Kotin-Mitan) kepada putra masa depan yang kelak bertambah besar dan bertambah hikma yang akan membebaskan negerinya Maumere secara keseluruhan dari penjajah, dan tidak membiarkan sebagian atau seorang pun dijajah oleh orang asing (Belanda). Gagasan asli, pada gambar 3 di bawah ini.




Gambar 3
Penanaman Visi Perjuangan7
Bahwa perjuangan akan kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan sudah ditanam tidak hanya oleh kedua orang tuanya tapi oleh para leluhur, para pemimpin negeri Maumere ini seperti terdapat dalam gagasan utama Teka Iku menurut penulis ada pada Gambar 4, ini.




Visi Perjuangan






















Gambar 4 Gagasan perjuangan





Moan Teka Iku8
Pada catatan satu liwut (liwut ha) = 4 buah, menunjukkan negeri ini telah hadir jauh sebelum tahun Masehi. Kita tahu bahwa matematika sudah ada 2000 tahun sebelum Masehi. Konsep matematika yang melandasi tradisi hidup mereka ialah pasangan seperti dua buah kelapa kering yang diikat menjadi satu oleh tali dari kulit buah kelapa disebut 1 tali (tali ha), dua botol tuak (bir) disebut plasu ha. Satu (1) tali tambah 1 tali adalah liwut ha.
Bagi buah kelapa kering yang sudah ‘diliwut’ sampai 10 liwut, harus ditinggikan karena mencapai 1 subur (subur ha), artinya diletakan pada sebatang kayu yang dirikan di atas tanah, sehingga dari jauh sudah ketahuan berapa subur. Tetapi atas buah jagung yang kering juga tetap sama yaitu 1 liwut konsep empatan, kemudian 25 liwut sama dengan 1 bese (bese ha), kemudian 10 bese, 20 bese dan seterusnya. Apakah perbedaan konsep bilangan ini karena buah kelapa lebih besar daripada buah jagung? Bukan karena hanya buah kelapa yang dapat ‘disubur,’ buah mangga tidak dapat ‘disubur.’
Bahwa pajak baru berupa kelapa 4 buah setiap pohon pada musim petik menjadi pemicu perang, ketika instruksi kolonialis Belanda kepada raja Sikka, untuk melaksanakan pemungutan dapatlah dipahami karena merupakan dasar bilangan untuk membangun satu subur kelapa menjadi kurang dan hal ini sangat dirasakan oleh kebanyakan penduduk yang hidupnya dari bertani yang telah dibebani oleh berbagai macam pajak termasuk pajak pohon kelapa, pajak kepala (belasting), pajak tembakau, kemiri, kopra, dan kerja paksa (rodi).
Kemerdekaan yang dihembuskan membuat perilaku Teka Iku yang gemar bermain dari kampung ke kampung tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dalam berbicara, banyak inisiatif, berani dan bijaksana. Berkelahi dalam membantu teman-teman yang mengalami perlakuan tidak adil, taat terhadap orang tua. Kedua orang tuanya sangat bangga atas putra masa depan yang memberi harapan atas rakyatnya. Lebih-lebih ketika Teka Iku atas inisiatif sendiri, lebih banyak di luar rumah dalam latihan menunggang kuda, menggunakan senjata tajam, sampai latihan menembak dengan senjata berat (meriam).
Ketika itu, bangsa Portugis mulai mengalami masalah dalam negeri mereka karena Portugis di bumi hanguskan tentara Prancis lebih-lebih pada serangan ke tiga, dan mengalami perlawan dari daerah-daerah jajahan di Amerika Latin sehingga berusaha menarik diri dari Flores ke Timor Leste, meninggalkan Flores, khusus Maumere tetap berada dalam pemerintahan lokal, ratu nian tawa tana, yang otonomi kecuali Sikka yang dijaga oleh tentara Portugis.
Tahun 1875, Teka Iku dilantik tanapuan, oleh tanapuan Mitan, wilayah Hubin-Wolomude yang sekarang menjadi desa gaya baru Teka Iku, kecamatan Kangae. Sejak itu ia mulai dikenal oleh para tanapu’an dan watu pitu dari desa ke desa lintas wilayah kerajaan yang ada di Maumere-Flores. Dengan masuknya Belanda akhir 1879 yang didukung oleh raja Sikka, Teka Iku sebagai kepala adat tanah mulai berkomunikasi dan sosialisai dengan para raja, para kepala adat dan kepala-kepala suku serta kepala-kepala kampung dalam memahirkan kemapuan perangnya tidak hanya antar kampung, tapi memasuki tingkat wilayah kerajaan demi misi perjuangannya.
Mo’an Teka Iku mempertanyakan mengapa Belanda yang sudah punya negeri di barat sana, koh jauh-jauh datang kemari ke tempat kita yang sudah punya negeri sejak zaman asal mula, apakah ingin menjajah dan mengeruk kekayaan dari rakyat miskin kita.9 Mengapa dalam gagasan atau visi perjuangan Moan Teka Iku berkata, kita orang bukan kami orang secara jelas tersirat tradisi demokrasi dan kita orang yang dimasud itu, apakah tingkat Maumere, atau tingkat Flores atau tingkat nusantara Indonesia?

Gagasan berikut ini akan anda baca dan temukan jawabannya.







Gambar 5 Gagasan patriotisme Teka Iku10

Gagasan berikut berbicara mengenai kita dalam arti eksistensi apakah terbatas pada kita orang Flores atau kita orang kepulauan Indonesia?





Gambar 6
Gagasan persatuan kesatuan11

Manusia dikarunia oleh suatu kecerdasan dalam memberi nama mahkluk ciptaan Tuhan. Seperti bawang putih =hunga, bawang merah = somu, sedang kapal = jong, kapal laut = jong tahi, kapal terbang = jong horon, kapal selam = jong sugung. Jong Jawa terjemahan bebas kapal nusantara, sebab masyarakat mengenal Jawa let dan Jawa wawat, artinya Jawa di sebelah timur Maumere yaitu Larantuka dan pulau-pulau sebelah timur, sedangkan di sebelah baratnya adalah pulau Jawa, Sumatera dan lainnya.

Apakah Moan Teka Iku sudah berpikir mengenai jaringan perjuangan mereka sebagai strategi menuju tujuan? Anda akan temukan gagasan jaringan perjuangan mereka pada gambar 7.







Gambar 7
Gagasan jaringan perjuangan12

Anda tentu ingin tahu adakah gagasan tentang organisasi perang teka iku, yang melakukan serangan kilat (blietz klierg) untuk itu tersedia pada gambar 8, demikian:







Gambar 8 Gagasan organisasi perang13

Sebagai pemimpin rakyat dan pemimpin perang, tentu anda ingin tahu apa gagasan mengenai kepemimpinan Teka Iku. Gagasan pada gambar 9 dapat anda baca dan temukan artinya.





Gambar 9 Gagasan kepemimpinan14

Semboyan kemenangan perang selalu diucapkan setiap kembali dari perang yang dapat anda bandingkan dengan pemimpin Romawi, Julius Caesar di medan perang dengan ungkapan yang terkenal sampai kini Veni, Vidi, Vinci yang artinya saya datang, saya lihat, saya menang.




Gambar 10
Jargon perang Teka Iku15



Data Perjuangan
Tingkat perjuangan terus meningkat dari antar kampung ke wilayah antar kerajaan sebagai tolak ukur untuk melawan Belanda yang besar dengan kekuatan yang besar yaitu:
1. Tahun 1880, nama Teka Iku yang sudah dikenal dan menjadi catatan Belanda menjadi semakin tersohor karena perang wilayah kerajaan Sikka di Maumere melawan kerajaan Larantuka karena masalah pulau Besar dan pulau Permaan serta pelabuhan Nawang Kewa (1880). Perang dipimpin Mo’an Teka Iku dan Mo’an Juje Goleng dan berhasil mencabut bendera Belanda yang dipasang oleh raja Larantuka. Perang berakhir dengan kemenangan pihak Sikka, tapi kemudian tokoh Kangae, J.Goleng beralih ke pihak Larantuka. Sejak itu tokoh adat tanah Teka Iku diangkat menjadi Kepala Hubin-Wolomude oleh raja Sikka.

2. Tahun 1885 atas tekanan kolonialis Belanda berhasil mencaplok kerajaan Nita, kemudian melantik Moan Digung da Silva menjadi raja atas kerajaan Nita bersama raja Sikka Andreas Jati da Silva pada 11 September 1885 oleh residen Kupang. Pelantikan di maumere yang dihadiri oleh para tokoh dan raja-raja yang diangkat oleh Belanda dengan menandatangani korte verklaring. Moan Teka Iku yang hadir dalam pelantikan itu melihat hubungan raja Sikka dan raja Larantuka belum pulih gara-gara perang 1880.

3. Tahun 1900, perang pecah di Kangae antara Sikka lawan Kangae. Mulanya dimenangkan oleh Kangae dengan raja adatnya Mo’an ratu Keu dibantu J.Goleng dan raja Larantuka dengan pemimpin perang Jawa Uwok. Raja Sikka mengerahkan bala bantuan dari Nita dan Mbuli Nggela dengan pasukan 3000 orang yang dipimpin oleh Moan Teka Iku dan menang perang atas Kangae.

4. Tahun 1902, Moan Teka Iku diangkat menjadi Kapitan (wakil raja) atas Hubin-Wolomude yang berkedudukan di Hubin oleh raja Sikka, pada saat Kangae dalam keadaan lemah, sehingga Belanda dengan mudah mengganti raja pilihan (Keu Nago) dengan Nai putra J.Goleng dan dilantik dengan dibacakan korte verklaring oleh residen Kupang untuk menjadi raja atas Kangae 9-12-1902.

5. Tahun 1903, para raja baru sadar bahwa mereka diadu domba oleh kolonialis Belanda, tapi tidak berdaya melawan Belanda, kecuali Teka Iku yang mempunyai visi yang jelas memandang bahwa inilah saat yang tepat untuk melakukan perlawanan dengan persiapan membangun benteng pertahanan. Bergerak cepat dalam membangun jaringan dengan jalan damai terhadap rakyat dan tua-tua adat dan kepala-kepala dari masing-masing kerajaan dalam menghimpun kekuatan laskar rakyat yang besar dengan motto perjuangan yang menggetarkan dan daya pengaruh yang besar.

6. Bukan kebetulan, Belanda yang merasa superior menindas rakyat dengan pajak baru empat buah kelapa setiap pohon setiap musim petik kelapa, membuat kemarahan rakyat sekaligus mendukung Teka Iku dalam melakukan perlawanan rakyat sesuai visi misi Teka Iku yang sudah lama diperjuangkan.

7. Pajak baru, 4 buah kelapa sebagai pemicu perang besar yang dipimpin Teka Iku melawan Belanda dibantu oleh tiga raja Maumere, 18 Mei 1904. Hanya dalam hitungan hari Maumere seluruhnya dikuasai Teka Iku, yang disapa jenderal oleh Belanda pada 20 Mei 1904. Bala bantuan pemerintah Hindia Belanda segera mengirim kapal “G.G. Pel” merapat di laut Flores, tepatnya perairan Maumere 22 Mei 1904. Teka Iku tampil berani, dengan jawaban perang, ‘aku Teka Iku ayah Idang, burung gagak kumakan, burung kakatua kumakan,’ pada gambar 11.




Gambar 11
Jawaban perang seorang kesatria16

8. Laporan residen Timor di Kupang kepada gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia dalam dokumen rahasia tahun 1904, tentang keberanian Teka Iku, antara lain dalam gambar 12.






Gambar 12
Moan Teka Iku menurut Belanda17

9. Belanda dengan pasukan darat dan laut yang besar mekakukan serangan balik 3 Juni 1904 dan 5 Juni 1904 (lihat peta wilayah perang) Pasukan Belanda dipimpin langsung oleh residen Kupang, Heckler. Namun gagal, tampa mencederai para pejuang rakyat pimpinan Teka Iku, dan bahkan mengakui Teka Iku sebagai ‘lilin malam.’

10. Teka Iku terperangkap 7 Juni 1904 pagi, karena diajak oleh besan sekaligus ajudan Pitang untuk berunding dengan Belanda, daripada kita perang karena tempat persembunyian Teka Iku sudah diketahui Belanda melalui sorotan lampu kapal perang di malam hari yang mencari persembunyian Teka Iku. Adapun Pitang dijebak lebih dahulu 2 Juni 1904 dalam suatu pesta keluarga di Maumere, dan besoknya 3 Juni Belanda melakukan serangan pertama ke benteng Teka Iku di Baluele desa Pitang Sadok Kemudian Pitang dibebaskan 5 Juni 1904 pagi, sebelum serangan kedua ke desa Teka Iku dengan maksud Pitang membujuk Teka Iku untuk berunding, ternyata mereka dipasung.

11. Pada 8 Juni 1904 laskar rakyat Teka Iku yang bertahan di Wukur-Hokor memenangkan perlawanan atas pasukan Belanda yang dibantu pasukan raja Sikka dari darat dan laut yang melakukan seangan ketiga. Kemenangan itu dirayakan dengan tarian Bebing, kemudian dibangun patung di Maumere dekat jalan Teka Iku. Ekskursi (serangan) ke Hokor oleh Belanda 18

12. Para pejuang Teka Iku, dan kawan-kawan dibuang ke luar residen Timor, meninggalkan Maumere bersama residen dalam kapal Pelikaan yang dikawal kapal perang ‘Mataram’ pada 30 Juni 1904. Mereka dikenai 3 hukuman yaitu hukum buang, hukum penjara dan hukum bayar ongkos perang serta melarang Hubin-Wolomude (sekarang desa Teka Iku) untuk dibangun rumah atau mengerjakan kebunnya. Walaupun mereka dibuang tetapi Moan Teka Iku tetap yakin akan kebenaran visi, misi mereka sesuai pesan terakhir, yaitu sampai beras putih dikupas pun nama sejarah perjuangan Teka Iku tidak akan hilang, ia tetap menyertai (gambar 13)






Gambar 13
Gagasan sejarah Teka Iku19

13. Perjuangan Moan Teka Iku sangat berhasil, karena setelah dibuang kempanye pembangunan, perdamaian, keadilan, penghapusan atas budak, pajak dihapuskan atau diturunkan semua itu adalah hasil perjuangan Teka Iku, dan kawan-kawan yang dinikmati oleh rakyat dan penjajah, bukan oleh Teka Iku, dan kawan-kawan pejuang serta keluarganya di Maumere

14. Perang perlawanan rakyat Flores terjadi pada masa akhir kekuasaan GG Rooseboom (1904) mempunyai pengaruh yang sangat luas terutama dalam arti konsep perjuangan sehingga pada saat pergantian kekuasaan dari G.G Rooseboom ke G.G van Heutz; (1904-1909) membuat van Heutz memberikan perhatian istimewa kepada daerah-daerah luar Jawa, yang dahulu dinamakan “buitenbezittingen” atau juga “buitengewesten” artinya “milik luar dan daerah luar. Colijn (1909) dikirim oleh G.G van Heutz mengunjungi Flores dalam rangka politik van Heutz. Pada kesempatan itu Colijn meninjau daerah jajahan dan seluruh stasi misi. Pokok permasalahan penting yang dibicarakan ialah masalah pendidikan dan pengajaran.

15. Kunjungan Colijn ke Flores tidak serta merta dilaksanakan tetapi dijalankan secara pelan-pelan karena persoalan teknis dan ideologi. Sikap kolonialis bertambah baik lagi pada masa gubernur jenderal A.F.W Idenburg (1909-1916). Yang sejak Mei 1908 menjabat Menteri Koloni pada masa Heutz. Oleh karena itu 20 Frebuari 1911, di Lela-Maumere-Flores diadakan pertemuan antara wakil misi (P. Hoeberechts, van der Velden dan Looymans) dengan wakil pemerintah dari residensi Timor, kontrolir Hens dari Ende-Flores, dan penasihat urusan luar Jawa, Lulofs. Secara resmi tugas pendidikan seluruh Flores diserahkan kepada misi. Program pendidikan harus sama dengan program sekolah umum, artinya semua sama dengan keadaan di Jawa. Pelajaran tidak lagi dalam bahasa Maumere (tutur sara itan), tapi bahasa Melayu. Syarat lain ialah dalam jangka waktu tiga tahun sekolah seperti itu harus dibuka di Ende dan Flores Barat. Di kampung-kampung diadakan sekolah 3 tahun sebagai yang terdapat di desa-desa Jawa. Rencana ini menyenangkan hati G.G Idenburg maupun menteri urusan koloni, yaitu de Waal Malefijt. Dengan keputusan pemerintah 31 Maret 1913 ditentukan suatu kontrak, bahwa pengajaran Flores diserahkan kepada misi sampai dengan tahun 1922, dengan pengawasan dan kerja sama serta subsidi pemerintah. Beberapa sekolah mulai dijadikan sekolah standar selama 5 tahun dalam tahun 1913 seperti Larantuka dan Maumere (Lela & Wetakara).

16. Pada tahun 1925 setelah para pejuang selesai menjalani hukum buang harusnya kembali ke Maumere, tetapi kekuatan kolonialis semakin kokoh. Di mana pemerintah kolonialis membubarkan dua kerajaan yaitu Nita dan Kangae, dan membebaskan kedua rajanya dengan pensiun maka seluruh Maumere dalam kerajaan Sikka yang dikendalikan oleh Don Thomas da Silva

17. Hasil perjuangan Teka Iku dimanfaatkan oleh Belanda melalui Thomas da Silva, sampai kemerdakaan di mana Thomas da Silva terpilih menjadi Kepala daerah Flores pertama dan mendirikan yayasan pendidikan Thomas, di mana dananya dari uang restribusi kopra milik rakyat Maumere.

18. Moan Teka Iku, dan Iku Mitan, Pitang Sadok, Hure Teka dan Lela adalah pejuang rakyat sejati, berasal dari rakyat biasa dan berjuang bersama rakyat dan untuk rakyat Flores sesuai dengan gagasan-gagasan yang ia sampaikan. Mereka dibuang dari Maumere ke Larantuka, Kupang. Moan Teka Iku dibuang lagi dari Kupang ke Makassar, Jawa Tengah, Aceh, terus ke Sumatera Barat, tepatnya di Sawah Lunto.


Riwayat Hidup
Bayi Teka Iku ditemukan oleh Mo’an Mitan Baber dan teman-temanya pergi berburuh babi hutan tahun 1849 di Mudung Hoder Maumere Timur, tepatnya di Watuwikir di atas batu besar. Perjalanan hidup bayi itulah memberi nama tempat-tempat yang dilalui karena kehausan dan kepanasan yang diberi air susu oleh ibu-ibu Muslimin di mana Moan Mitan Baber dan kawan-kawan singgahi. Atas kebaikan itu, mereka pertama singgah dan menamai Wai Ara, Kletang Bihan (ban bihan), dan Wai Pare, Bola Wolon, Koa dan sampai di Hubin (desa Teka Iku). Kisah ini secara rinci belum ditulis dalam buku Memori, kecuali secara umum tidak meyinggung secara rinci masing-masing tempat yang disebut di atas, yang semuanya berlokasi di Maumere Timur.


Dipelihara dan diangkat oleh Mo’an Mitan Baber Pautanapuan, pada tahun 1851 dalam upacara lebo kuat, pemberian nama Teka Iku dan masuk dalam suku Pautanapuan serta mendapat pendidikan dan warisan marga/lepo Pautanapu’an. Perlakuan dan kasih sayang antara anak angkat (Teka Iku) dan anak kandung (Iku Mitan) oleh keluarga Mitan-Kotin adalah sama seperti anak kembar saja sejak masa kecil dan dibisiki roh perjuangan rakyat oleh kedua orang tuanya.
Teka Iku yang cerdas, berani, pandai berbicara, inisiatif dan penuh daya pikat memahirkan latihan di luar rumah untuk aktif dalam kegiatan perang demi kemerdekaan, keadilan dan kemanusiaan yang beradab menjadi dewasa dan menikah adat dengan du’a Odat dari Hubin punya empat anak, kemudian du’a Gleung dari Wolomude mempunyai 11 anak, dan du’a Nean asal Ian-Wolokoli yang memberinya 4 anak yang masih anak-anak pada masa perang. Moan Teka Iku pada masa perang secara internal dibantu oleh kedua istrinya dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan keluarga besarnya seperti saudaranya Mo’an Iku Mitan, Mo’an Pitang Sadok (besan), Mo’an Hure Teka (anak), dan eksternal Mo’an Lela dan para kepala-kepala kampung, seperti tergambar dalam peta wilayah Maumere di masa Teka Iku (1904).



BIO DATA
Nama : TEKA IKU
Tempat, Tanggal lahir : Hubin, 1849 - …?
Nama Orang Tua : Mo’an Mitan – Du’a Kotin Pautanapuan
Kedudukan orang tua : Kepala Adat (Tanapuan)
Kepala Watu Pitu (Dewan Desa)
Pendidikan : INFORMAL
Agama : Aliran kepercayaan (tradisi)
Warga Negara : Indonesia
Jabatan : Kepala Adat (tanapu’an) tahun 1875
Kepala Dewan Desa (Watu Pitu) tahun 1875
Pemimpin perang suku, tahun 1880
Kepala kampung (gai)1880
Pemimpin perang antar suku (1900)
Kapitan (wakil raja), 1902
Pemimpin perang besar melawan kolonialis
Belanda yang dibantu 3 raja setempat
Alamat sebelum dibuang Hubin (sekarang Desa Teka Iku, Kec. Kangae
Alamat setelah pembuangan : Sawah Lunto – Padang Sumatera Barat


Kesimpulan
Uraian singkat yang disarikan dari buku Memori perjuangan dan pengabdian Mo’an Teka Iku ditulis akhir tahun 2006, melewati empat kali seminar yaitu 5 Juli dan 25 Juli di kantor Bupati Maumere (1997) dan 16 Juni 2004 dan 27 November 2004 di Maumere serta didukung oleh tulisan L.Say berupa terjemahan dari Br. Petrus Laan,SVD (1904), judul Pemberontakan Teka (1991), tulisan Dr Piet Petu,SVD (1988), judul Teka Iku Pahlawan Sikka, tulisan B.L Kailola dalam bentuk Dokumen R. No.343 tahun 1904, gambar foto Teka Iku yang juga ada di ‘Metro File’, dan peta wilayah perang di Ondeafdeling Maumere yang meliputi bekas kerajaan Kangae, Nita dan Sikka merupakan bukti nyata kebenaran sejarah bahwa Patriotisme dan Kepahlawanan berdasarkan data dan fakta-fakta benar bukan dikarang-karang, yaitu:

1. Bahwa kolonialis dan imperialis Belanda atas tiga kerajaan setempat di wilayah Maumere-Flores yakni kerajaan Kangae, kerajaan Nita dan kerajaan Sikka sudah tidak dapat dibenarkan keberadaanya atas sebuah wilayah yang telah dilakukan dari akar-akar budaya tradisi demokrasi, merdeka, berdaulat, adil, dan kemanusiaan yang dibangun oleh para pendiri, raja-raja primus inter pares yang disebut ratu nian tawa tana, berdasar filosofi ‘Litin giit mora nian ‘reget mangan mora tana.’

2. Bahwa campur tangan kolonialis dan imperialis Belanda terhadap kedaulatan pemerintahan Governance para ratu nian tawa tana atas seluruh wilayah dan kekuasaannya adalah suatu bentuk pencaplokan, perampasan dan intervensi berbau Exploitation de L’home par lomme dengan sistem divide et impera yang sangat mengacaukan dan merugikan kepentingan rakyat yang dijajah, disingkirkan dan tidak diutamakan.

3. Bahwa matinya hak-hak otonomi para raja yang melaksanakan sistem pemerintahan demokratis yaitu musyawarah untuk mufakat bersama para tua-tua adat tanah, para kepala suku (Du’a Mo’an Tana Pu’an Watu Pitu) demi kepentingan rakyat umum, sudah tidak dapat dipertahankan terus untuk hidup di bumi Maumere

4. Bahwa penetapan pajak pendapatan kolonial Belanda secara sepihak dan tidak demokratis berupa 4 buah kelapa tiap pohon sekali panen adalah tindakan kolonialis yang kapitalis yang memperjelas eksploitasi tersebut di atas untuk segera dihilang lenyapkan.

5. Bahwa kesadaran rakyat yang progresip akan visi, misi perjuangan rakyat mencapai klimaksnya yang disebut Nuhu Gete Teka Iku (Perang Besar Teka Iku) 1904 ditakut-takuti dan diancam oleh Posthouder B.l Kailola pada tanggal 20 Mei 1904 di kampung Beru Maumere, namun Mo’an Teka Iku tidak pantang mundur dari perjuangan dan perlawanan mereka atas ideologi kapitalis militeristik Belanda dengan motto perjuangan dan perlawanan “Mau Makan Lagi Daging Orang Putih,” bandingkan gambar 11.

6. Bahwa kemenangan Kolonial Belanda bersama para Raja-raja, adalah kemenangan militeristik yang tidak perlu dibanggakan, apalagi dengan cara yang sangat konservatip dengan tipu muslihat untuk berdamai, menangkap, dan membelenggu atas Mo’an Teka Iku dan kawan-kawan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tidak berperi kemanusiaan.

7. Mereka rela ditangkap dan dipasung oleh Kolonial Belanda dan di bawa serta dibuang, dikawal oleh kapal militer Belanda bagai domba yang tidak mengembik di bawa ke tempat pembantian demi tanah air tercinta Flores untuk secara nasionalisme berkorban dan mati demi tanah air dan suku bangsanya, maka sudah sepantasnya dan layak Mo’an Teka Iku pahlawan Flores NTT (2005) mendapat penghormatan dan kemuliaan sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana pahlawan nasional dari daerah lainnya dalam bingkai NKRI.


Saran-Saran
1. Agar nama lapangan terbang Wai Oti yang pertama dibangun oleh Jepang untuk kemenangan perang Asia Timur Raya (Perang Dunia II) yang terletak dalam wilayah Perang Besar Teka Iku (1904), menjadi Bandara Teka Iku sesuai usul masyarakat sejak seminar pertama 1997
2. Agar nama Kabupaten Sikka yang sekarang dikembalikan ke kabupaten Maumere sesuai fakta sejarah. Saran ini didukung oleh tokoh masyarakat L.Say yang menitipkan ke penulis sejak Seminar terakhir (ke-4), 27 November 2004 di Dispenda Maumere Flores. Fakta lain dukungan masyarakat luas, baik masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa asli Maumere (Krowe) dalam komunikasi bisnis, dan masyarakat Maumere di Luar kabupaten menamakan dirinya keluarga besar Maumere.
3. Agar Pemerintah Kabupaten segera mendatangi tempat terakhir pembuangan Moan Teka Iku di Sawah Lunto Sumetera Barat dan keluarga di sana, sebagai kelanjutan usaha pemerintah kabupaten ke Medan Sumatera Utara (Januari 2006) yang tertundah


Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten yang telah memberi nama sejarah pejuang Moan Teka Iku dan kawan-kawan melalui:

1. Nama Desa Teka Iku yang terletak di kecamatan Kangae Maumere Flores NTT.
2. Nama jalan Teka Iku di Mumere yang juga terdapat di Internet.
3. Patung selamat datang yang mengambarkan kemenangan mutlak laskar rakyat Teka Iku di Hokor atas pasukan darat laut Belanda yang dibantu pasukan raja Sikka (1904). Patung berdiri di jalan Teka Iku
4. Nama pelabuhan Maumere “Sadang Bui” yang artinya kapal menanti di pelabuhan sesuai lagu “Jong Lau Sadang Bui” yang menunggu Moan Teka Iku dan kawan-kawan untuk di buang ke luar Maumere (30 Juni 1904).
5. Monumen Teka Iku yang berdiri di tengah kota baru Maumere dan terpatri tulisan pada gambar 1, di atas.






Sumber
1. Kahlil Gibran, (1999), Renungan-renungan spiritual, Yogyakarta, penerbit: Yayasan Bentang Budaya.
2. Gilbert Highet, dalam, Jujun S. Suriasumantri, (1978), Ilmu dalam perspektif, sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, Jakarta, penerbit: P.T Gramedia, h. 43.
3. H.G.Wells, dalam, Paulus J. Gessing & J.Tanus Sadipun, Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: yayasan Teka Iku, h. 81.
4. Berbagai sumber, dalam, Paulus J.Gessing & J. Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, penerbit Yayasan Teka Iku, Jakarta, h.116-117
5. Paulus J.Gessing & J.Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, penerbit Yayasan Teka Iku, Jakarta, h. 53
6. Ibid. h. 67 & 129
7. Ibid. h. 68, 83, 93.
8. Ibid. h. 85 – 99.
9. Petrus Laan,SVD, (1904) dalam, L.Say, (1991), Pemeberontakan Teka, (terj;), dalam, Paulus J.Gessing & J. Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 170-171 dan h. 197.
10. Moa Nurak Bako & S. Sadipun, dalam, Paulus J. Gessing & J.Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 84
11. Drs. Hendrikus Gewaar, SH; (1996), filosofi nasional, dalam,wawancara tulisan, Ujung Pandang, 26 Maret.
12. A.M Theod Goban & L. Saveriana Seto, dalam, Paulus J.Gessing & J.Tanus Sadipun; (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 118 – 122.
13. Maria Josephina G. Pautanapuan, dalam, Paulus J. Gessing & J.Tanus Sadipun (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 122-123
14. Yoseph Djese Pu’an, dalam, Ibid; h.102-104.
15. Cyprianus Seto, dalam, Ibid; h. 23, 81, 112, 158, 287.
16. J. Didinong Gessing & J. Djese Puan, bandingkan, Petrus Laan, SVD, (1904), dalam, L. Say, (1991), Pemberontakan Teka (terj;), dalam, Paulus J. Gessing & J. Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengadian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 248, 289.
17. Dokumen R. No. 343 Thn 1904, Arsip Nasional, dalam, P. Marianus Krol,SVD dan P. Ansel Doredae,SVD; (terj; Lrdalero, 2004), dalam, Ibid; h.231.
18. Petrus Laan,SVD, (1904), dalam, L. Say, (1991), dalam, Ibid; h. 196 – 207.
19. Paulus J.Gessing & J.Tanus Sadipun, (2006), Memori perjuangan dan pengabdian Moan Teka Iku, Jakarta, penerbit: Yayasan Teka Iku, h. 267.


























Apakah anda tahu?
> Bahwa Asia termasuk Indonesia merupakan satu propinsi kekaisaran Romawi pada abad pertama Masehi, dengan ibu kota Efesus yang terletak di kota pelabuhan Asia Barat?

> Bahwa demokrasi tua di Maumere watu pitu punya kesamaan dengan septem sedes sapientiae? dan mengapa kaisar-kaisar Romawi pertama Augustus dan Tiberius tidak suka disembah sebagai dewa-dewa?

> Bahwa pada abad 15, tepatnya tahun 1493-1494, penjelajahan dunia oleh Spanyol dan Portugis dengan tiga tujuan utama: gospel, gold, glory dan dunia dibagi oleh Paus Alexander VI di Roma. Mengapa masalah pembagian wilayah dipersoalkan kembali dan di mana letak persoalannya apa di Indonesia? Philipina? atau Maluku yang kemudian diselesaikan melalui perjanjian Thordesillas (1521) yang juga direstui Paus?

> Bahwa perjalanan pertama kali mengelilingi dunia Sptember 1519 sampai September 1522, sebuah armda Spanyol berlayar melalui ujung selatan Amerika Latin dan Pasifik ke Philipina dan menduduki Philipina (1521), kemudian (1522) dari sana lewat Nusa Tenggara Timur kembali ke Spanyol. Dalam pelayaran ini mereka mengunjungi NTT, tetapi NTT dipandang sebagai daerah Portugis sejak tahun 1518. Ada apa dengan NTT atau karena Copernicus?

> Bahwa wilayah Maumere sejak semula beribukota di Maumere dan berbahasa Maumere. Bahasa Maumere berasal etnis terbesar Krowe dengan ibu kota Krove di pantai utara di sebelah timur, kota Maumere di barat Maumere ada Dondo masuk kabupaten Ende. Dapatkan peta pulau Flores pada awal abad 16, yaitu Sika dan pulau Ende di pantai selatan, Krove dan Dondo di pantai utara Flores.


NANTIKAN SAJA PADA TULISAN LAIN

santekaiku.com

Minggu, 29 Agustus 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU SERI 3

SELAMAT DATANG BANDARA FRANS SEDA & PELABUHAN LAUT L.SAY

FAREWELL WAIOTI AIRPORT & L.SAY PORT?”


Harian terkemuka KOMPAS, dengan tagline (kahe-moto) sakti “Amanat Hati Nurani Rakyat”, Senin, 23 Agustus 2010, pada halaman 34: TEROPONG , Ekonomi, kolom 6 mewartaberitakan “Penghargaan Bandara Frans Seda”.

Sebagai pemerhati sejarah Krowe, bersama rakyat akar rumput Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, ikut mengacungkan jempol buat Pemerintah dan Dewan yang telah serta merta memproses mengganti nama lapangan terbang “WAIOTI” dan pelabuhan laut “SADANG BUI” masing-masing dengan nama “ Bandara Frans Seda” dan “Pelabuhan Laut L.Say”.

Peresmian yang telah dilakukan oleh Menteri Perhubungan, Fredy Numberi dan dihadiri unsur pemerintah dan dewan serta kalangan rohaniwan rohaniwati kabupaten Sikka, 9 Agustus 2010, di pagi yang cerah, pada waktu jam menunjukkan angka 9 itu, dibawah pengawalan pengamanan yang ketat lantaran adanya isu aksi protes dari ALMASI. Aliansi Masyarakat Sikka itu diantaranya WALHI NTT, LBH NUSRA, HNSI SIKKA, ADIL SIKKA, HIMPUNAN MASYARAKAT ADAT SIKKA, FPPI SIKKA, REMAJA MESJID WURING, PERSATUAN OJEK SIKKA, TPDI SIKKA, REMAJA MASJID WURING, dan IBU-IBU NELAYAN WURIN, tanpa kehadiran Alias tak terlihat HIMPUNAN MASYARAKAT SEJARAH KABUPATEN SIKKA. Konon para ibu nelayan Wuring sempat protes lantaran “pencemaran minyak di Laut Timor” yang masuk dalam jaring penangkapan ikan mereka.

Selain disaksikan oleh para ahli waris ke dua tokoh, tampak pula masyarakat seputar lapangan terbang, diantaranya generasi muda-generasi muda penerus dan pemelihara “NUBA NANGA’ WAIOTI. Eslebe Bupati, Eslebe Dewan atas kinerja dan menjadi track record serta catatan sejarah mengganti nama Lapangan Terbang Waioti yang telah diberkati dan di-piru(cium) Paulus VI, Paus yang doyan berkelana-pastoralia mengunjungi para dombanya diseantero dunia.

Terkait nama “WAIOTI” yang merupakan kebanggaan generasi leluhur pemilik dan pewaris tradisi “Nuba Nanga” yang penuh mitos dan legendaris via oral story, oral histrory, collective memory, dan local recognition bakal musnah lenyap(?) dan Waioti sebagai mata jalan lintas balik serangan ke dua menangkap Generaal Teka, pemimpin NUHU GETE, 18 Mei-20 Mei 1904 oleh Penjajah Belanda di Onderafdeeling Maumere, 5 Juni 1904 yang dibantu tiga raja kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae (local real history dan local recognition) ikut punah musnah(?) juga kah? Walaualam!

Begitu juga dengan “SADANG BUI”. Pelabuhan yang juga sarat dengan penuturan lisan turun temurun sebagai pelabuhan, tempat ditambatnya 3 kapal perang Pemerintah Hindia Belanda yang tengah menanti keputusan Mahkamah Agung Koloni Penjajah Belanda untuk menjemput 5 (lima) pemimpin perang (pemberontak versi penjajah), tanggal 30 Juni 1904 dengan hukuman di penjara( 3 orang: Iku Mitan dan Hure Teka, (Kelotong)) menceburkan diri ke laut dekat Tj.Bunga, Laut Flores ) dan hukuman dibuang (Generaal Teka dan Adjudant nya Pitang Sadok) serta denda terkait pampasan perang 3000 gulden (Buku Memori Perjuangan&Pengabdian Mo’an Teka Iku, bab v, hal.167-232, Karya Paulus J.Gessing&J.Tanus Sadipun, 2006, atau Pemberontakan Teka, terjemahan L.Say, 1991).

Teka yang sedari awal selalu dan di mana-mana menyosialisasikan diri (introduce) sebagai TEKA IKU, REBU BA’IT, DAMAR JAWA DA’AN DADIN, PATI(PATAR) HADING ‘LIWAN PITU ENE BERE. PARE BURA WIWAGA,NARAN A’UN ENE POTAT”, saat ini telah dua kali (2006&2009) masuk nominasi final (final nomination) di meja sidang Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP) dengan moderator DIRJEN PEMBERDAYAAN SOSIAL DEPARTEMEN SOSIAL RI 2004-2009. Namun tersandung dan sampai kapan diakui, nunggu tangan Tuhan (NTT).

Sementara adjudantnya,” Pitang Sadok” masih dinanti datang dan dirindu tunggui turun - temurunnya entah hingga kapan(?) di bekas tambat kapal perang-kapal perang penjajah “PELIKAN” , “MATARAM” dan “De GeneraalPel” Sadang Bui yang telah ditip-eks.

Akankah lenyap “Peristiwa Sejarah Satu Abad Lebih enam tahun silam itu dengan penggantian yang bersejarah”Peristiwa Peresmian Besar-Besaran 9 Agustus 2010, jam 09.00 WIT oleh Bapak Menteri Perhubungan RI, seperti tulisan laporan pandangan mata Sem/Ans?

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada ke dua tokoh pengganti bandara dan bandar tersebut di atas, konon pergantian nama ini mencederai hati nurani rakyat akar rumput pemilik dan pewaris “Nuba Nanga” Waioti yang sedari awal pendekatan pergantian nama itu tidak mengiklaskan. Hati nuraninya tetap mempertahankan nama itu sebagai kebanggaan dan kenangan atas hibah prodeo alias cuma-cuma bin gratis pengabadian nama “WAIOTI” yang merupakan tanah talipuser leluhur dan ahliwarisnya demi “BONUM COMMUNE”masyarakat dunia.

Sayang! Hati nurani pemegang kekuasaan menutup telinga dan mata hati sehingga lewat taktik dan strategi “Totem Pro Parte” – “Mendapat Dukungan Masyarakat Luar” Nuba Nanga, masyarakat pemilik dan pemegang serta generasi pewaris cuma menepuk dada dan menerimanya laksana “anak domba” yang tak berkutik saat mau disembelih. Konon masyarakat seputar yang ikut mendukung pun dalam hati sanubarinya tak rela, namun karena “conditio sine qua non” mereka menandatangani mendukungnya ketika proses sosialisasi.

Apa mau dikata! Pro dan kontra direspons pemda dan dewan sebagai kebebasan berkata dan bersuara dalam alam demokrasi sebagai hal biasa, normal, manusiawi. Lagian ini merupakan proses demokratisasi yang sedang seru-serunya digalakkan dari pusat hingga pelosok tanah air, tanpa peduli bahwa ujung-ujung demokrasi adalah “keadilan dan kesejahteraan” rakyat sebagai pemberi mandat berkuasa bagi siapa pun melalui pemilihan langsung yang pertama sepanjang sejarah berbangsa dan bernegara. Pemilihan langsung bupati 2008-2013 dan pemilihan dewan 2009-2914. Bukankah model pemilihan langsung seperti ini telah dijalankan rakyat pada masa Ratu Nian Tawa Tana KROWE(?), lewat DU’A MO’AN WATU PITU, (DEWAN DESA) sebelum berakulturasi dengan Penjajah PORTUGIS?

Untuk itu kiranya tak berlebihan apabila peringatan dari FRANCIS BACON (1561-1626) dalam “Idols of the Mind” yang disitir Triyono Lukmantoro, Pengajar di FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, dalam konteks penelusuran sejarah dengan judul “Pencarian Kebenaran Sejarah Tak Kenal Usai”(Harian Seputar Indonesia, 29 September 2007) dituliskan sebagai pembanding bahkan sebagai “pekerjaan rumah buat masyarakat untuk melacak dan menginvestigasi keaslian dan kemurnian sejarah kabupaten Sikka”.

Terkait pemberian nama bandara Waioti yang masih menuai protes dan akan berlanjut terus menerus(?) kiranya pemikiran Bacon, awal abad enam belas boleh jadi permenungan bagi kita rakyat dan dewan serta kaum berkuasa. Sitiran Triyono atas pemikiran Bacon antara lain “Metode terbaik yang dapat ditempuh adalah menyingkirkan “berhala-berhala pemikiran” untuk pergantian nama bagi hal-hal umum masyarakat. Untuk itu ada empat pemikiran yang wajib untuk dilawan habis-habisan, kongkretnya adalah 1) pandangan dogmatis yang menonjolkan watak kesukuan, nasionalisme, atau totalitarianisme yang dibentuk oleh negara. 2) Sikap “katak dalam tempurung” yang sengaja membatasi keluasan cakrawala pemikiran.3) Jebakan untuk melakukan pengidolaan terhadap tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi.4) Afiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik dan keyakinan tertentu yang menutup kemunculan ruang-ruang perbedaan pendapat.

Konon ada dua tokoh daerah, masing-masing Teka Iku(1849-1904 di Onderafdeeling Maumere yang berkedudukzn di Maumere, dan 1904-1024 di penjara Sawalunto, serta 19204 hingga meningggal dan dikuburkan di pekuburan Sawalunto, adalah seorang Abdi Rakyat dan Pemimpin Sejati di tiga kerajaan Sikka, Nita, dan Kangae yang Memiliki Visi, Misi dan Berdaya Pikat bagi Tuhan dan Manusia (Menejemen Kepemimpinan, Paulus J.Gessing, 2008), yang berani dan penuh heroik berperang membela rakyat karena “Pajak Kelapa” yang sangat memberatkan, yang diterapkan raja kepada rakyat, atas perintah penjajah kolonial Belanda.

Tokoh yang lainnya adalah Raja Kelima Belas sejak masa penjajahan Portugis (1607-1857) atau Raja Ke Delapan, masa penjajahan Belanda (1857/59-1945), Don Thomas Ximenes da Silva (1920-1945). Beliau adalah penata awal Onderafdeeling Maumere yang dalam perjalanan pemerintahannya antara lain memiliki andi membangun pendidikan dengan “YAPENTHOM” nya yang sudah dan akan terus melahirkan generasi demi generasi menjadi tokoh-tokoh daerah yang ikut berperan membangun Republik ini baik ditingkat regional, nasional maupun dunia (Pelangi Sikka, hal 36, B.Michael Beding&S.Indah Lestari Beding, 2001).

Ke duanya merupakan usulan rakyat dan masyarakat sepuluh lima belas tahun silam bahkan sampai mencuatnya calon baru yang wacananya mulai bergulir beredar di internet dan media-media lainnya, pro-aktif dan konsisten mempertanyakan ulang dan terus-menerus akan usulannya baik ke bupati mau pun ke dewan. Mereka berdua pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan apreasiasi yang jujur tulus atas jasa-jasa mereka. Bahkan dari sumber yang dapat dan patut dipercaya, Don Thomas diusulkan oleh dua ratusan lebih warga rakyat akar rumput, sementara Teka Iku, melalui pengiriman surat tercatat tertanggal 17 Maret 2010, meminta bupati menindaklanjuti memproses agenda tertunda penggantian nama lapangan terbang Waioti menjadi Bandara Teka Iku, menggenapi kemasan usulan dalam satu paket dengan usulan menjadi “Pahlawan Nasional RI” sejak tahun 1997 (Kronologis Usha dan Upaya Mendapatkan Pengakuan dan Penghargaan Bagi Mo’an Teka Iku (alm) Sebagai Pahlawan Nasional RI Asal NTT, 22 Januari 2008). Usulan ini pun sepengetahuan ke dua almarhum semasa hidupnya. Bahkan Almarhum Bapak L.Say, pengalihbahasa buku “Pemberontakan Teka dari Buku Verzameld door een Missionaris SVD, Sikka, 60 Jaren, Missiewerk, en nog wat, Tweede deeltje, hal. 221-235) adalah “inisiator”-“mastermind” Teka Iku, “pahlawan nasional, bandara Teka Iku dan kabupaten Maumere”sesuai aslinya “ONDERAFDEELING MAUMERE”.

Selanjutnya dengan jujur tulus hendaknya diakui bahwa calon nama baru pengganti lapangan terbang Waioti, Almarhum Drs.Fransiskus Xaverius Seda (3 Oktober 1926-2009) yang muncul dalam tayangan televisi ibukota “Metro TV” 2 Januari 2010, adalah merupakan buah dan hasil jerih payah perjuangan ke dua tokoh masa silam ini.

Calon baru nama bandara Waioti, Drs Fransiskus Xaverius Seda, Almarhum, atau familiar dengan sapaan Frans Seda, yang masih beraroma harum mewangi kembang kamboja Bukit Indah “SAN DIEGO” Krawang – Jawa Barat, adalah usulan bupati kabupaten Sikka, 5 Januari 2010 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sikka (data dari Kementerian Perhubungan RI, 6 Agustus 2010) atau tiga hari setelah dikebumikan.

Almarhum adalah abdi negara terbaik, mengabdi pada negara sejak 1964 – 1988. Dalam berbagai buku tercatat, selepas pengabdiannya yang resmi pada negara, almarhum yang ahli ekonomi yang unik dan cerdas serta tulisan-tulisannya yang scientific, arts, dan morals enak dibaca dan dicerna tetap pro-aktif, konsisten dan terus-menerus berpartisipasi berjuang untuk bangsa dan negara serta agama. Dalam bergiat sebagai pengusaha, almarhum tetap berbisnis yang pro-rakyat melalui konsep “padat karya”.

Veteran yang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, dan bergabung dalam Laskar Sunda Kecil/TNI Batayon “Paraja” di Yogya bersama teman-teman dari NTT, satu di antaranya L.Say, adalah sosok yang kerja keras, cerdas, disiplin, dan jujur. Spiritualisme dan moralitas yang prima serta penuh intergritas itu, tidak saja terlihat pada jabatan lima kali menjadi menteri, tetapi juga pada berbagai peran penting lainnya dilingkungan pemerintahan sampai akhir hidupnya. Ucap SBY: Frans Seda tokoh tiga Zaman, tokoh kepercayaan lima presiden adalah tepat dan pas (da’a golo)( Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010). Pas pula dengan julukan “A MAN FOR ALL SEASONS” dan itu jauh lebih luhur dan mulia ketimbang sebuah nama lapangan terbang. Selamat jalan Mo’at!. Requiescas in pace!

Pada sisi lain, dalam mengantisipasi situasi dan kondisi di seputar lapangan terbang, menjelang isu diresmikannya bandara tersebut di atas, di Jakarta, 2 Agustus 2010, beberapa warga Keluarga Besar Maumere JABODETABEK- (PARS PRO TOTO) - mengikrarkan “FORUM PEDULI PELESTARIAN NAMA BANDARA WAIOTI&PELABUHAN SADANG BUI”

Forum dibentuk karena mempertimbangkan mencuatnya pergesekan-pergesekan di masyarakat antara pendukung dan penolak penggantian nama bandara. Dan itu terjadi di masyarakat akar rumput karena ulah orang-orang oportunis, yang karena satu dan lain hal sibuk memoprovokasi. Memprovokasi kelompok pendukung penggantian melalui pengidolaan atas figur atau tokoh melalui sejumlah iming-iming angin surga. Dengan demikian, rakyat akan rumput dengan kekurangpahamannya akan membabi buta mempertahankannya sebagaimana terlihat dalam tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Dan itu boleh jadi tersulut oleh adanya konspirasi antara elit politik dan para penguasa demi kepentingan sesaat bagi kelompok atau golongannya.

Maka oleh karena terdapat tiga tokoh yang masing-masing memiliki kebesaran dan jasa sesuai jamannya, forum bersepakat bahwa jalan atau cara aman, damai, netral serta menghindari perseteruan antar pendukung masing-masing dan menghindari mewariskan kembali dendam politik sepanjang masa yang tidak menguntungkan generasi demi generasi, adalah “KEMBALI KE NAMA ASLI “WAIOTI” & “SADANG BUI”

Pernyataan Sikap Forum tersebut di atas telah disampaikan kepada Kementerian Perhubungan baik melalui surat tertanggal 2 Agustus 2010, maupun lewat tatapmuka penyampaian aspirasi dan aksi tanggal 6 Agustus 2010. Surat pernyataan sikap disampaikan juga kepada instansi terkait dari tingkat pusat hingga daerah serta masyarakat umum dan dunia melalui jaringan alat komunikasi.

Seruan kembali ke nama asli, yang menurut orang waras adalah sesuatu yang tidak waras, sebagai dalil “apalah arti sebuah nama” dalam konteks “history” – bukan “his-story” adalah beralasan dengan pertimbangan selain peringatan Francis Bacon tersebut di atas, juga fakta atas munculnya berbagai upaya dan usaha pencarian kebenaran sejarah tak kenal usai, dan juga adanya upaya “Membongkar Manipulasi Sejarah” , tulisan Julius Puor, terbitan Gramedia, 2009.

Tulisan ini tidak bermaksud mengurangi hasil kinerja almarhum atau jerih payah pemda dan dewan di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagai pemerhati sejarah, pemberian dan penghargaan atas rakyat yang pengabdiannya sangat bermanfaat akan hajat hidup orang banyak hendaknya melibatkan berbagai macam elemen masyarakat (UU No.20/2009, Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan) Sehingga keputusan yang diberikan atau diambil diperkecil dan syukur-syukur diapresiasi secara obyektif tanpa menuai protes memprotes rakyat kecil yang biasanya menjadi korban perubahan sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tegasnya korban komoditas politik oleh elit politik yang moralitas dan spiritualismenya diserakahi yang ragawi saja sebagaimana dilansir berbagai media paska perayaan tujuhbelas agustusan tahun ini.


stefanus a.a.-danita

Rabu, 07 April 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU SERI 2

Inti tulisan dalam peristiwa sejarah seri 1 : Ada apa dengan Teka Iku (1849-1904) terdapat dua pandangan berbeda tentang makna pahlawan nasional. Pandangan pahlawan nasional menurut Negara berbeda dengan pandangan yang terdapat dalam Masyarakat.
Harian Kompas, Selasa, 10 November 2009 di bawah judul Menimbang Makna Kepahlawanan, menuliskan makna Pahlawan nasional menurut Negara, dalam UU No.20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia yang berjuang melawan penjajahan di wilayah NKRI yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara , atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa.
Rumusan ini disertakan juga Bagan Tata Cara Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional yang dimulai dari usulan masyarakat ke Bupati/Wali Kota, lalu ke Instansi Sosial Provinsi, Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) ke Gubernur yang lalu merekomendasikan ke Dit.Kepahlawanan, Keperintisan&Kesetiakawanan Sosial cq Badan Pembina Pahlawan Pusat(BPPP) yang meneruskan ke Menteri Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial untuk disampaikan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa&Tanda Kehormatan RI untuk diteruskan ke Presiden RI untuk memutuskan/menetapkan Upacara Penganugerahan Gelar.
Inisiator (mastermind team) Pilar Kajian Sejarah&Nilai Tradisional Krove, Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta sejak tahun 1995 telah mengikuti secara kata demi kata prosedur dan mekanisme seperti tertulis di atas, namun ditolak oleh Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI atas dasar hasil penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan mendalam serta dengan tidak mengurangi rasa hormat atas perjuangan almarhum maka Badan Pembina Pahlawan Pusat (BPPP) menyimpulkan bahwa usulan calon Pahlawan atas nama Mo’an Teka Iku tidak memenuhi syarat/ditolak dengan alasan a) Perjuangan almarhum Mo’an Teka Iku terlalu singkat dan tidak berskala nasional. Dan b) Dalam perang melawan Belanda berakhir dengan tipu daya di mana Mo’an Teka Iku menyerahkan diri pada Belanda (Surat nomor 322/PS/XI/2006, 20 N0vember 2006. Tahun 2009, Teka Iku ikut dalam penilaian nasional namun gagal lagi dengan alasan; Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan maka BPPP menyimpulkan bahwa almarhum Mo’an Teka Iku dianggap tidak memenuhi persyaratan karena perjuangannya berlangsung singkat dan terbatas dan memaksakan kehendak kepada rakyat dengan cara kekerasan.(Surat Dirjen Pemberdayaan Sosial Nomor:1019/PS/XXI/2009, tanggal 31 Desember 2009 tentang “Hasil sidang atas usulan calon Pahlawan Nasional a.n.Mo’an Teka Iku, melalui Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang, 14 Januari 2010).
Sementara dua (2) Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang juga selaku Ketua Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) masing-masing merekomendasikan (1) dalam surat Nomor:BINSOS 481.2/21/2005, 3 Oktober 2005 angka 1.Berdasarkan hasil kajian atas Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Mo’an Teka Iku (Almarhum), menerangkan bahwa yang bersangkutan semasa hidupnya telah memberikan kontribusi besar dalam proses pergerakan kemerdekaan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur sehingga patut diberikan penghargaan atas jawa-jasanya (Piet Alexander Tallo,SH). Sedangkan rekomendasi (2) tertanggal 30 Juni 2009, dalam surat Nomor:KESRA, 464/01/2009 angka 1 Bahwa Mo’an Teka Iku adalah salah satu Pahlawan Lokal dimana beliau telah memberikan kontribusi besar dalam proses Pergerakan Kemerdekaan di Indonesia khususnya di kabupaten Sikka (Drs. Frans Lebu Raya).
Adalah serupa dan sejalan hasil jajak pendapat 850 responden di 10 kota besar tentang pahlawan, dengan hasil investigasi, verifikasi, dan validasi inisiator (mastermind team) dengan masyarakat umum dan masyarakat pendidikan serta pemerintah kabupaten Sikka didalam penelitian, pembahasan, pengkajian secara cermat dan mendalam menyangkut item-item seperti tersebut di dalam table survey Harian Kompas.
Pertanyaan di Tabel 1 Survey Harian Kompas: Setuju atau tidakkah Anda jika seseorang yang ditetapkan sebagai pahlawan (%) yakni harus orang yang telah meninggal dunia, harus orang-orang yang ikut berperang melawan musuh, harus orang yang berlatar belakang militer, tokoh masyarakat, dan masyarakat biasa merupakan topik-topik seru dan menuai pro dan kontra, tetapi pada akhirnya dari kelima pejuang yang diusulkan yaitu : (1) Mo’an Teka Iku (Generaal), (2) Mo’an Pitang Sadok (Adjudant), (3) Mo’an Iku Mitan, (4) Mo’an Hure Teka, dan (5) Moan Lela) hanya Mo,an Teka Iku (Generaal Teka – begitu disapa Posthouder Onderafdeeling Maumere yang berkedudukan di Maumere) yang direkomendasikan untuk diusahakan dan diupayakan menjadi Pahlawan Nasional RI asal Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Tinur. Hingga sekarang sudah 15 tahun masyarakat Kabupaten Sikka dan Provinsi NTT serta Inisiator (mastermind team) Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta berusaha dan berupaya masuk tingkat nasional namun masih harus menempuh jalan panjang seperti tulis Tabloid Umum Mingguan Flores Pos, Edisi Jakarta, Minggu 9 September – 16 September 2007. Kendati begitu Inisiator (mastermind team) Pilar Kajian Sejarah & Nilai Tradisional Krove Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta tetap pro-aktif dan konsisten mendalami visi, misi dan nilai perjuangan almarhum lewat ungkapan dalam bahawa Krowe nya yang sarat mengandung makna scientifics, arts, dan morals yang nampaknya selalu dan tetap up to date hingga sekarang bahkan mendatang akan maju terus. Menurut Inisiator (mastermind team), sudah waktunya di alam reformasi ini, cara pandang BPPP yang bersifat nasional sentris sebaiknya di debottlenecking karena hasil kajian lebih bersifat subyektif dan politis.Makanya setiap pengumuman pahlawan nasional selalu menuai kontroversi. Tabel III Hasil Survey Kompas menyebutkan beberapa nama seperti Bung Tomo, Siti Hartinah Soeharto, Soeharto, Tan Malaka dan Alimin di hapus dari mata pelajaran di sekolah, dan Anak Agung Gde Agung.Ini cuma sekedar yang muncul 2009. Sebelumnya ada Kontroversi Pahlawan Nasional oleh Asvi Warman Adam (Kompas, Senin, 12 November 2007), juga Imam Bonjol, dikenang sekaligus digugat oleh Suryadi (Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azie” en Oceanie, Universitas Leiden, Belanda). Sebaliknya seperti rekomendasi para gubernur, itu jauh lebih obyektif, lokal, jujur, tulus dan terbuka seperti yang dialami dalam pemrosesan Teka Iku cs. meski kandas di meja runding BPPP. Mengapa kita meniadakan peristiwa-peristiwa lokal yang bernilai tinggi dan dipelajari banyak sejarahwan asing ketimbang sejarahwan bangsa dewe? Buku Memori Perjuangan dan Pengabdian Moan Teka sebagai literature pendukung kepahlawanan Teka Iku lapuk dan berdebu serta tidak dibaca tuntas dalam proses penilaian tetapi tersimpan apik dan dipromosikan di Perustakaan Nasional Canbera- Australia. Untungnya seperti apa yang ditulis Rocky Gerung, Pendiri Setara Institute, Pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam salah satu artikelnya di Halaman Opini harian Kompas: “Pahlawan Itu Tewas Dua Kali”. Sekali di medan perang dan sekalinya lagi di “perang tarif” politik di dalam menentukan siapa, kapan, dan untuk apa sebuah lencana kepahlawanan dianugerahkan. Selanjutnya Rocky tulis pula : “ Sejarah memerlukan peristiwa (Nuhu Gete Teka Iku, 18 Mei 1904). Peristiwa memerlukan tokoh (Mo’an Teka Iku cs). Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa (ditangkap, dipasung, diadili, membayar denda, dihukum buang dan masuk bui selama 20 tahun di Sawalunto: 1904-1924) tanpa pemberitahuan ke keluarga hingga saat ini, orang sekampungnya dilarang membangun kembali rumah-rumah (Hubin-Wolomude) yang dibakarhanguskan prajurit kompeni Belanda 5 Juni 1904 dalam serangan ke dua menangkap Teka Iku cs, setelah gagal serangan pertama 3 Juni 1904). Dengan cara itu kata Rocky sejarah diulang-ulang, dan tokoh diingat-ingat. Mengulang dan mengingat harus menimbulkan “sensasi politik” agar dapat menghasilkan “ketagihan historis”. Sensasi itu namanya “perjuangan”, dan pelembagaannya bernama “kepahlawanan”. Dan itu memang tepat tagline ( meminjam terminology Presiden KIB II) Teka Iku: “ A’U TEKA IKU,Rebu Ba’it DAMAR JAWA DA’AN DADIN, PATAR HADING ‘LIWAN PITU ELE BERE0, PARE BURA WIWAGA, NARAN A’UN ELE POTAT”. Sampe ketemu di seri berikutnya…bandara teka iku dan maumere sebagai kabupaten dan ibukota kabupaten sesuai dari sononya “onderafdeeling maumere yang meliputi ratu nian tawa tana sikka,nita dan kangae. Lihat Peta Kota Krove (baca krowe) masa kekuasaan Portugis dan Peta Krove (Maumere pada masa perang besar Teka Iku).











Sumber : Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid I Halaman 376 Penerbit KWI 1974.




Senin, 01 Maret 2010

PERISTIWA SEJARAH : ADA APA DENGAN TEKA IKU ?


Teka Iku (1849 – 1904) pahlawan daerah Nusa Tenggara Timur dua kali mengalami bottleneck mindset dari Pemerintah c.q. Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. terhadap usaha dan upaya masyarakat NTT khususnya masyarakat Kabupatan Sikka untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional R.I. sebagaimana halnya pahlawan nasional Indonesia lainnya Imam Bonjol, Patimura, Bung Tomo, I. Gde Agung, Slamet Riyadi, John Lie dan lain-lain.

Alasan Pemerintah melalui Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. di dalam dua suratnya : nomor 322/PS/XI/2006 & nomor 1019/PS/XXI/2009 tanggal 31 Desember 2009 sepertinya hanya melihat dan membaca peristiwa NUHU GETE – PERANG BESAR TEKA IKU 18 Mei 1904 satu abad silam sebagai bersifat lokal dan berskala kecil serta waktu singkat pada alinea pertama dan terakhir buku L. Say : Pemberontakan Teka, yang termuat lengkap dalam buku Memori Perjuangan & Pengabdian Mo’an Teka Iku edisi perdana, November 2006, terbitan Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta dan atau buku Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur 2005. Padahal perang itu sangat menggemparkan Posthouder (pejabat Belanda setempat) di Onderafdeeling Maumere, Keresidenan Timor, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan Ratu di Negeri Belanda (Dokumen R. Nomor 343, Thn. 1904, Arsip Nasional R.I. Jakarta).

Perlu diketahui masyarakat Kabupaten Sikka (Rakyat dan Pemerintah Daerah) telah melimpahkan usaha dan upaya ini kepada Yayasan Teka Iku Pusat Jakarta untuk memperjuangkannya sesuai mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial R.I. (lihat hasil survey tentang Pahlawan Nasional. Kompas, Selasa, 10 Nopember 2009).

Maka untuk dan atas nama masyarakat Kabupaten Sikka dan masyarakat NTT pada umumnya sedari awal menyadari bahwa usulan mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional bagi almarhum Mo’an Teka Iku Pemimpin Perang Suku dan Pemimpin Perang Antar Kerajaan serta Pemimpin Perang Besar melawan penjajah kompeni Belanda bukanlah ”indah kabar dari rupa” melainkan fakta history yang aktual dan nyata serta penuh mitologis dan legendaris. Bukan juga latah dan ikutan-ikutan serta memaksakan kehendak pribadi melainkan seperti halnya Mo’an Teka Iku yang memiliki visi dan misi yang penuh integritas diri sehingga impamrih bangkit dan berperang melawan penjajah Belanda yang dibantu tiga Raja Tradisional: Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae. Pun juga adalah karena pelanggaran harkat martabat masyarakat tradisi Ratu Nian Tawa Tana, oleh penjajah kompeni Belanda seperti penindasan dan penghisapan terhadap rakyat kecil (wong ciliknya Bu Mega) dengan antara lain pemungutan pajak kelapa yang sangat memberatkan rakyat kecil. Dan 18 Mei 1904 merupakan puncak gunung es sebagai akibat akumulasi proses penindasan dan penghisapan rakyat sejak Kompeni Belanda menerapkan politik Devide et impera seterima kekuasaan dari penjajah Portugis yang murah hati dan santun.

Teka Iku memang provokatif seperti tulis Dirjen dalam surat kedua penolakan usulan menjadi Pahlawan Nasional. Salahkah model provokasi ini bagi mereka yang dijajah dan ditindas bertahun-tahun untuk berontak melawan penjajah Belanda yang telah memperdaya tiga raja tradisi Ratu Nian Tawa Tana Sikka, Nita dan Kangae? Teka Iku hulubalang perang kerajaan Kangae, Nita dan Sikka adalah juga sebagai kapitan (wakil raja Sikka) tampil berani melawan karena menilai para raja telah terpedaya oleh praktek politik Devide et Impera Belanda yang sangat kejam terhadap rakyat ketimbang penjajah Portugis yang santun sebelumnya.

Untuk itu sejalan dengan salah satu Tagline Presiden R.I. dalam program KIB II ada baiknya perlu Debottlenecking Mindset untuk mempertimbangkan kembali dan menilai dengan jujur tulus adil nilai perjuangan Teka Iku secara scientifics, arts, dan morals. Perjuangan Teka Iku merupakan embrio kebangkitan perlawanan nasional empat tahun lebih awal dari kebangkitan nasional 20 Mei 1908. Itulah semangat perjuangan Mo’an Teka Iku Rebu Ba’it, Damar Jawa Da’an Dadin, Patar Hading ’Liwan Pitu Ele Bere, Pare Bura Wiwaga, Nara A’un Ele Potat. Perjuangan ini meneruskan amanah sang Ayah Kepala Waktu Pitu (Ketua Dewan) dengan tagline ”Kotin – Mitan Bao Blutuk, Bao Blutuk Bliro Wolon, Ele Ngarong Klereng Ha, Wewe Tena Wolet Lebe”.


stefanus a.a.-danita